Enggartiasto Dorong Pemerintah Perhatikan Kelas Menengah - BeritaSatu
Enggartiasto Dorong Pemerintah Perhatikan Kelas Menengah

Jakarta, Beritasatu.com - Menteri Perdagangan periode 2016-2019 sekaligus Executive Chairman B-Universe, Enggartiasto Lukita mengatakan Indonesia sebagai sebuah negara mengalami pertumbuhan ekonomi cukup tinggi di antara anggota G-20, kurang memberikan perhatian pada masyarakat kelas menengah.
"Berbagai insentif diberikan untuk menarik investasi dan itu dianggap ada di tingkat atas. Kemudian, yang di bawah mendapatkan bantuan dengan bansos (bantuan sosial). Ini apakah salah? Tidak. Kami meyakini bahwa tanpa bansos menjadi persoalan bagi masyarakat bawah. Namun yang menjadi persoalan yang di tengah ini tidak bisa mendapatkan bansos dan kurang mendapatkan perhatian yang intensif," jelas Enggartiasto dalam focus group discussion (FGD) Investor Daily bertema “Merayu Kelas Menengah” di eL Building, Jakarta, Rabu (6/3/2024).
Enggartiasto mengakui pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam mendesain kebijakan pro kelas menangah. Namun, perlu ditangani secara cepat.
"Kita tahu masyarakat menengah itu berpotensi turun, atau mereka yang dari bawah ke calon kelas menengah itu bisa turun, kenapa? Karena berbagai kenaikan harga bahan pokok mengakibatkan pengeluaran lebih tinggi daripada penerimaan. Ini tidak bisa kita abaikan begitu saja," pungkasnya.
Enggartiasto menyampaikan, pembahasan mengenai kelas menengah dipicu dari tulisan Menteri Keuangan periode 2013-2014, Chatib Basri, yang menyinggung Chilean Paradox, yakni gejolak sosial dari kelas menengah yang terjadi di Cile pada 2019.
"Di Cile sumber daya mineral hanya diambil role material seperti kita dulu dan diekspor. Yang mendapatkan berbagai insentif dan perhatian hanya kelas atas dan kemudian kelas paling bawah. Namun, kelompok menengah ini tidak dapat, kenapa? Itulah yang terjadi keserahan dan terjadi ketidakpuasan," ungkapnya.
Di sisi lain, Enggartiasto mengatakan FGD Investor Daily digelar secara rutin untuk membahas berbagai hal yang berkembang secara lengkap dan komprehensif.
"Tugas dan tanggung jawab kita sebagai media,kita memiliki komitmen menyajikan semua itu secara objektif dan konstruktif. Bahkan, terkandung niat berbagai hal yang disampaikan ini ada yang bisa dipublikasikan, tentu agar masyarakat bisa mendapatkan informasi lebih akurat dan jelas dengan berbagi background yang ada," ungkap Enggartiasto.
Selain itu, kata dia, pihaknya menyusun berbagai catatan sebagai masukan bagi pengambil keputusan atas apa yang dilihat dan diamati.
Turut hadir dalam FGD, yakni Deputi Bidang Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas Amalia Adininggar Widyasanti, ekonom Indef Eko Listyanto, dosen Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB) Universitas Katolik Atma Jaya, Yohanes Berchman Suhartoko, dosen FEB Universitas Indonesia, Athor Subroto, dan dosen HI Universitas Bina Nusantara, Lili Yulyadi.
Chatib Basri sebelumnya mengatakan kelas menengah tidak punya banyak pilihan. Instrumen perlindungan sosial juga tidak memadai. Mereka tidak berhak akan bantuan sosial karena bukan termasuk kelompok miskin. "Mereka belum tentu memiliki akses untuk beasiswa karena tak memiliki surat keterangan tidak mampu (SKTM)," kata pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) ini.
Chatib mengatakan mereka juga harus membayar BPJS sendiri karena bukan bagian dari penerima bantuan iuran (PBI). "Fokus kebijakan ekonomi di banyak negara, termasuk Indonesia, praktis pada kelompok miskin, kelas menengah nyaris terabaikan," kata dia.
Chatib memberikan contoh di Cile. Kinerja ekonomi Cile amat mengesankan dengan pendapatan per kapita tertinggi di Amerika Latin. Tingkat kemiskinan menurun dari 53% pada 1987 menjadi 6% pada 2017. Ironisnya pada Oktober 2019 terjadi gejolak sosial yang nyaris menimbulkan revolusi. "Ekonom Sebastian Edwards menyebutnya The Chilean Paradox. Mengapa? Salah satu penjelasannya adalah terabaikannya kelas menengah," kata Chatib.
Simak berita dan artikel lainnya di Google News
Ikuti terus berita terhangat dari Beritasatu.com via whatsapp